Dwina.net - Sore nan syahdu saat PakSu pulang kerja, beliau menenteng sebuah buku yang terbilang cukup tebal. Judulnya Celana Tak Berpisak. Ini bukan pemandangan aneh, semenjak pindah ke Dinas Perpustakaan dan Arsip buku menjadi salah satu yang hilir mudik dikerjakan. Dan membawa pulang buku adalah kelaziman. Seperti sore ini. Ketika meletakkan buku itu PakSu berpesan supaya saya menulis sedikit banyak tentang isi buku ini. Tentu dari kacamata emak muda yang syantik, sholehah beranak dua bersuami satu (kibas jilbab).
Untuk menulis pendapat tentang isi buku Celana Tak Berpisak ini otomatis saya harus baca dulu dong. Masak iya cuma baca judulnya terus searching di google tentang buku ini abis itu copas, hadeuh.. unfaedah banget itu pemirsah. And of course, I can't do that. Yah, meskipun saya sempet nelen ludah pas lihat halamannya yang kalo di total sampe ke riwayat penulis total halaman ada 589. Kalau buku ini rampung maybe ini adalah buku tertebal yang pernah saya baca. Belum lagi lihat isi tulisannya.
Penulis yang tidak lain adalah sastrawan Riau ini telah melahirkan banyak karya, baik cerita pendek, novel, puisi, esai dan cerita rakyat. Adalah beliau bernama Griven H. Putera yang sumbangsihnya dalam dunia literasi khususnya sasra melayu pasti telah menghabiskan banyak waktu untuk mengumpulkan bahan, riset tulisan, pemilihan ide, judul dan segala pernak pernik untuk melengkapi buku Celana Tak Berpisak ini. Maka adalah sebuah kesenangan bagi saya untuk menikmatinya. meskipun (lagi) honesly saya belum selesai membacanya. But guys, harus saya akui saya tenggelam dalam setiap untaian pemilihan kata yang di rangkai penulis. Ada banyak rima-rima melayu, pesan moral, kritikan halus, agama serta harapan yang dituangkan penulis dalam buku ini.
Diawali dari tajuk pertama Mana Jejak Kita? penulis mengawali buku ini dengan kalimat:
Hidup yang paling bermakna adalah ketika mampu meninggalkan sesuatu yang berarti bagi alam sekitar, membekaskan sejumlah jejak, setimbun kesan dan tapak kenangan yang patut diingat, disimak dan ditiru oleh anak-cucu-cicit dalam meniti hari yang panjang di masa hadapan. Sehingga mahkluk lain sesudahnya bisa berkaca dan merenung diri untuk menghalakan wajah ke arah mana pula haluan cita hendak dituju.
Membaca setengah paragraf awal ini saya otomatis merenung sesaat, kemudian bergumam dalam hati "Iya, ya. Saya sudah hidup selama lebih kurang 36 tahun, sudah menjadi ibu lalu apa yang sudah saya beri kepada alam? pesan apa yang sudah saya tanamkan kepada anak saya untuk kemudian diteruskan kepada cucu dan cicit saya kelak?" Buku ini sah menarik perhatian saya.
Semakin dalam saya telusuri buku ini semakin mengetuk-ngetuk dinding kesadaran, moralitas, empati dan emosi saya. Banyak pengajaran yang bisa saya ambil walau hanya baru menghabiskan beberapa lembar saja. Satu lagi yang menarik dari buku ini adalah banyaknya kosa kata baru yang sudah lama tidak terdengar dan sangat menarik misalnya: cicit-piut, dipunah-ranahkan, akal-budi, bermastautin, terbakah-bakah dan masih banyak lagi. Teroka aja sendiri teman mungkin kalian akan menemukan lebih banyak lagi dari saya.
foto pribadi |
Eksotika Banjir
Dalam setiap awal paragraf dari sub judul baru tidak jarang penulis membuka dengan ayat Al-qur'an seperti ketika menceritakan banjir yang saat ini menjadi permasalahan hampir di seluruh dunia. Orang-orang sibuk menyalahkan hujan padahal sejatinya hujan turun bersama rahmat yang tercurah. Banjir adalah bencana yang menurut saya 80% adalah akibat ulah tangan manusia, ya kita sendiri, teman.
Renungkan makna surah Qaaf: 9 ini yang artinya:
"Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh keberkahan lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam"
Ayat pembuka ini sekali lagi menjadi bahan perenungan sekaligus pengingat ketika masa kecil saya dulu. Setiap kali banjir kami menyambutnya dengan penuh suka cita. Sebab banyak ikan yang nyasar entah darimana datangnya tau-tau berenang di halaman, di jalanan bahkan masuk dalam rumah. Semua itu sungguh menyenangkan.
Hampir sama seperti apa yang diceritakan dalam buku ini, apa yang penulis rasakan ketika dulu banjir datang ke kampung halamannya. Seperti itu jugalah saya. Suka banjir. Entah kenapa semakin kesini banjir tidak lagi menyenangkan, banjir membuat banyak penyakit berdatangan. Semua itu karena bumi kita sudah sakit parah, teman. Pemerintah dan masyarakat hendaknya membuat langkah nyata untuk kembali menghijaukan bumi. Mengedukasi diri, anak dan orang-orang terdekat untuk tidak sembarangan membuang sampah.
foto pribadi |
Tamparan telak bagi pemerintah Riau dalam Patung-patung Latah
Sudah lazim memang di setiap kota kita melihat patung sebagai penghias kota (mungkin masyarakat menganggapnya demikian). Tapi menurut pemerintah patung-patung tersebut merupakan simbol atau monumen.
Disini penulis jelas-jelas mengkritisi banyaknya patung yang bertebaran khususnya di kota Pekanbaru. Dan yang paling menggelitik adalah patung pesawat yang berada di depan kantor gubernur berganti dengan patung zapin. Dari tulisan beliau sah lah saya menilai bahwa penulis adalah satu dari sekian banyak orang yang merasa weird dengan patung tersebut. and, I fell that.
Awal datang ke Pekanbaru salah satu tata kota yang saya sukai adalah patung pesawat terbang di depan kantor gubernur itu. Ketika lahir anak kami yang pertama saya membawanya berjalan-jalan naik motor ke jl. Sudirman. Sampai di depan traffic light kami berhenti. Karena lampu merah lagi menyala. Ngga lucu aja kalau saya terobos kan.
Nah, patung pesawat itu adalah hiburan gratis untuk anak saya. Dia antusias melihat patung pesawat nongkrong dengan gagahnya di tengah kota bukan di bandara seperti yang pernah dilihatnya. Tapi itu dulu dan saya pun hanya menikmati patung itu sebentar sebab setelah itu patung pesawat terbang berganti menjadi patung zapin. Bukan tidak bagus sih, tapi saya aja mungkin yang belum menemukan dimana letak bagusnya. Maafkan kan saya. Tapi ketika membaca Celana Tak Berpisak ini pendapat saya seperti terwakili bahwa banyaknya patung di Pekanbaru latah banget. :)