Sebagai mahluk sosial yang bermasyarakat tentu kita mengenal berbagai jenis prilaku anak-anak. Ada anak yang prilakunya selalu memancing emosi. Sangkin lasaknya sampai-sampai orang melabelinya dengan sebutan anak nakal. Kejadian ini juga pernah saya alami. Ketika pulang ke rumah ibu, saya mendapati keadaan yang sedikit banyak menguras emosi. Antara sedih dan miris campur aduk saat melihat tetangga memukuli anaknya. Sontak kenangan masa lalu saya yang juga kerap mendapat perlakuan kasar dari orang tua, membludak di ingatan tanpa bisa saya bendung lagi.
Luka masa lalu. Begitu orang-orang sering menyebutnya. Luka ini kebanyakan dialami oleh anak-anak saat mereka masih kecil. Rasa ingin tahu yang sulit dibendung menyebabkan anak-anak tidak bisa diam. Apalagi ketika bermain bersama kawan-kawan. Ada hasrat untuk meneroka segala yang ternampak di mata. Tak pelak, saya kerap menghabiskan waktu bersama kawan-kawan di parit, sungai, kebun milik tetangga, di atas pohon dan baru balik ke rumah saat adzan berkumandang.
Sesampai di rumah, bukan terus boleh duduk diam, tapi melanjutkan bermain bersama kakak dan adik. Riuh dalam rumah yang kecil bersama ke dua orang tua. Seramai lima orang dalam satu rumah tentu membuat suasana rumah bising. Belum lagi kalau salah satu di antara kami ada yang berantam. Gaduhlah suasana.
Keadaan ini tentu memancing emosi orang tua. Dan, hukuman yang diterima ketika itu tak jauh dari pemukulan, tarik telinga, dicubit dan jenis hukuman lainnya. Kami yang kala itu masih kecil, tak mampu melawan, hanya pasrah menerima keadaan. Kejadian itu terus menerus diterima sehinggalah masuk masa remaja.
Dan, mirisnya, perlakukan yang sebetulnya salah itu akhirnya jadi benar karena selalu terjadi. Menjadi luka masa kecil yang menimbulkan emosi terpendam. Bahayanya, ketika dewasa dan menjadi orang tua, mengelola emosi ini jadi sulit sebab ada luka masa lalu yang belum terobati. Sehingga, ketika ada anak yang tidak bisa diam atau lasaknya ampun-ampunan, seringkali, hukuman yang diterima dulu, ikut dirasakan oleh anak sekarang.
Benarkah prilaku anak yang selalu memancing emosi itu sebab disengaja?
Menelusuri tingkah pola manusia meskipun dianya anak sendiri rasanya harus dilakukan. Setidaknya, kita selaku orang tua menyadari bahwa anak ini adalah titipan Tuhan yang datang dengan penuh kasih sayang. Terbukti, ketika pertama kali kita menyambut kelahirannya. Tentu ada rasa suka cita dan bahagia yang sulit dijelaskan.
Seiring berjalannya waktu, anak tumbuh dengan cepat disertai dengan prilakunya yang kadangkala lucu dan kadang bikin kesel. Sebelum kita memarahi anak, sepertinya ada beberapa hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu. Apa itu? Simak bagaimana cara menghadapi prilaku anak yang selalu memancing emosi. Simak terus di dwina.net
1. Anak ialah Peniru yang Ulung
Mungkin ketika kita menasehati anak, dia seperti tidak mendengar atau memang tidak mau mendengar sama sekali. Seolah ada stereo didalam telinganya yang bisa dibesar kecilkan. Ketika ibunya ngomel, dia memilih mematikan stereo telinga jadi tidak dengar apa yang kita katakan. Pun sebaliknya, ketika hal yang disampaikan itu menarik, stereo itu dibesarkan sebab mereka berminat untuk mendengarkan.
Hanya saja perlu diketahui, meskipun mereka tidak mendengarkan bukan berarti mereka tidak faham. Anak adalah peniru yang ulung. Sangat mudah bagi mereka meniru semua prilaku orang tuanya, mulai dari intonasi suara, gerak mata, raut wajah, sampai pada kebiasaan-kebiasaan orang tua. Sekarang, coba perhatikan anak Anda ketika dia berbicara. Adakah satu dua intonasi suara yang mirip seperti kita? Atau, ketika si kakak memarahi adiknya. Apakah gaya bicaranya mirip seperti ketika Anda memarahinya?
Jika jawabannya, iya. Itu bukti yang cukup kalau mereka memang peniru yang ulung. Nah, satu poin sudah kita dapatkan. Dan jadi pembelajaraan untuk kita selaku orang tua. Usahakan berbicara dengan bahasa yang lembut pada anak. Tahan emosi agar kata-kata yang keluar bukan bahasa kasar yang berhamburan sekena hati. Ingat, ketika Anda memarahinya, seluruh mimik muka dan intonasi suara diserap habis bak spons oleh mereka yang satu saat akan mereka keluarkan.
2. Anak yang Memancing Emosi Sebenarnya Sedang Perlu Perhatian
Bapak/Ibu, anak-anak itu menanggap kita adalah pelindung mereka sebab mereka tahu mereka masih lemah. Belum bisa mengambil keputusan, belum ada keberanian untuk mengeksplore diri seperti yang orang tuanya harapkan dan masih banyak masalah yang mereka hadapi. Jangan salah ya, bapak/ibu, anak-anak juga punya masalah loh. Hanya saja, mereka belum tahu cara mengungkapkannya.
Nah, ketika mereka memiliki orang tua yang mengabaikan kehadiran mereka. Selalu menghakimi tanpa bertanya apa masalah yang sedang mereka hadapi. Memberi hukuman atas kesalahan yang mereka buat dengan hukuman verbal maupun fisik. Semua itu membuat jiwa anak lama kelamaan menjadi kosong. Dan, akhirnya kekurangan perhatian.
Jadi, poin ke dua sudah didapat ya, Bapak/Ibu anak yang kerap memancing emosi kita itu sebenarnya sedang perlu perhatian. Sisihkan waktu secara khusus bukan waktu sisa sebab Anda tidak akan fokus pada apa yang ingin mereka ungkapkan. Setiap orang tak kiralah dewasa atau anak-anak semuanya perlu perhatian. Ajak anak berbicara hati ke hati. Curhat bersama orang tua tentu lebih membuatnya nyaman ketimbang dengan orang lain. Ciptakan rasa nyaman itu. Jadi, ketika mereka buat kerenah atau berprilaku yang memancing emosi, Anda bisa dengan mudah menasehatinya tanpa perlu berteriak apalagi menghukumnya.
Baca Juga : Haruskah Berteriak Untuk Mengancam Anak?
3. Dengarkan Permasalahan Anak Tanpa Perlu Menghakimi
Saat anak pulang dalam keadaan kotor dan disertai luka, selalunya apa yang Anda lakukan? Jika buru-buru menghujaninya dengan pertanyaan, itu kurang tepat. Hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah peluk dia dengan penuh kasih. Abaikan dulu rasa penasaran Anda dengan keadaanya tersebut. Beri dia ruang untuk merasa nyaman dan pasti dia akan bercerita. Ketika mereka bercerita baik dengarkan dulu. Apa penyebabnya dan apa yang telah dia lakukan atas masalahnya tersebut.
Kemungkinan anak habis berkelahi dengan teman atau bisa jadi dia jatuh atau bisa jadi dia dibuli. Penting untuk orang tua mengetahui akar masalahnya dulu tanpa buru-buru menghakimi. Apalagi jika kasusnya adalah perkelahian yang tentu saja melibatkan orang lain. Jika masalahnya melibatkan orang lain, tanyai anak, apakah dia sanggup menyelesaikan masalahnya sendiri atau perlu bantuan kita. Sesetengah anak-anak justru merasa tidak nyaman ketika orang tuanya ikut campur dalam permasalahan dirinya.
Untuk menghadapi keadaan ini, beri kepercayaan pada anak untuk menyelesaikan dulu masalah pribadinya sambil Anda mencari informasi yang lebih lengkap, bisa lewat guru atau kawan bermainnya. Jika memang dirasa aman untuk anak menyelesaikan masalahnya, biarkan. Ini merupakan pelatihan mental bagi dirinya. Tapi, jika keadaannya parah, dan tidak bisa ditanggulangi sendiri, Anda boleh ikut terlibat dalam batas-batas yang wajar.
4. Banyak bersabar dan sadari ini adalah fase pembentukan karakter.
Ibarat fase perkembangbiakan kupu-kupu dimana sebelum menjadi kupu-kupu yang cantik ianya harus menjadi ulat dan kepompong. Begitu juga anak-anak kita. Pembentukan karakter ini penting untuk dirinya ketika dewasa. Anak yang sering mendapat perlakuan kasar apalagi dari orang tua selalu orang yang dianggap sebagai pelindung akan memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah. Mereka sulit bertarung untuk meraih cita-cintanya kelak.
Pembentukan karakter ini tidak bisa dilakukan secara instans. Menurut beberapa ahli parenting, anak bisa dibentuk dari usia 0 hingga 15 tahun. Di atas 15 tahun dia sudah menganggap dirinya dewasa dan sulit untuk dibentuk lagi.Jadi gunakan waktu ini untuk banyak-banyak mendengarkan, banyak membersamai, banyak bersabar. Tingkah laku mereka yang sering memancing emosi itu adalah fase dari pembentukan karakter dirinya.
Bersabar bukan berarti membiarkan ketika mereka melakukan kesalahan. Tetap lakukan tindakan tegas tanpa mengasari mereka. Anda harus bisa membedakan mana tindakan yang tegas mana yang kasar. Tegas maksudnya menempatkan kesalahan sesuai dengan hukumannya. Sedangkan kasar ialah menghukum anak tanpa perduli apa masalahnya. Seorang penjahat saja boleh membela diri di pengadilan bukan?
Memberikan hukuman disiplin kepada anak boleh saja selagi hukuman itu bersifat membangun dan membuat anak mengerti akan kesalahan yang dibuatnya. Sehingga lain waktu mereka tahu bahwa tindakan yang mereka lakukan itu salah. Jangan lupa untuk selalu memberikan apresiasi kepada anak ketika mereka menunjukkan perbaikan prilaku. Ini untuk menguatkan rasa kepercayaan dirinya dan kepekaannya terhadap orang tua dan orang-orang di sekelilingnya.
Itulah serba sedikit tentang Cara Menghadapi Prilaku Anak Yang Selalu Memancing Emosi sesuai dengan pengalaman penulis. Penulis tahu bahwa masih banyak kekurangan di sana-sini sebab masih terus belajar menghadapi prilaku anak. Jika ada yang kurang berkenan mohon dimaafkan. Dan jika ada yang kurang boleh ditambahkan di kolom komentar. Semoga kita bisa sama-sama belajar untuk mendidik anak menjadi generasi penerus yang berprilaku baik. Semoga bermanfaat.