Gara-gara kelamaan ndiemin blog akhirnya bingung mau memulai dari mana. Mungkin ini juga yang dirasakan ketika seseorang itu sudah lama mendiamkan sesuatu hal. Bisa jadi sesuatu itu dianggap sepele tapi bagi orang lain tidak. Belakangan ini aku sering mengingat hal-hal kecil yang hampir terlupakan. Misalnya saja hari ketika aku menjalani hidup di negeri tetangga sebagai pekerja kilang. Tinggal di rumah yang kecil bersama 14 orang temenku. Kami berasal dari kota yang berbeda. Ada yang tinggal di Semarang, Solo, Yogya, Sleman, Magelang dan Siantar.
Banyaknya temenku yang berasal dari Pulau Jawa membuatku belajar memperhalus bahasa jawa. Salah satu temenku yang rajin banget ngajarin bahasa jawa kromo inggil adalah Wanti. Sebut saja begitu. Gadis cantik bertubuh kurus ini asli menampilkan sosok perempuan jawa yang halus budi bahasa. Dia tidak canggung menggunakan panggilan mbak, atau kakak untuk seseorang yang dianggap lebih tua walaupun hanya terpaut setahun. Itu salah satu hal yang menyenangkan ketika aku berteman dengannya.
Ditambah lagi sifatnya yang sedikit malu-malu tapi banyak menyimpan ilmu menjadikan wanti adalah sosok teman yang membuat aku betah duduk berlama-lama disampingnya. Gerak lakunya yang lembut malah dijadikan bahan lawakan oleh temanku.
Lembab. Begitu teman-teman yang lain memanggilnya. Lembab dalam bahasa melayu Malaysia artinya lamban.
Tidak di pungkiri memang, aku sendiripun sering membenarkan panggilan itu untuknya karena memang dia lembut sekali. Tapi aku suka.
Hal terakhir yang aku ingat tentang Wanti adalah ketika dia menangis sesenggukan waktu aku mau puang ke tanah air. Masalahnya sih sepele saja. Dia harus menggantikan tugasku yang waktu itu kebagian sebagai QC (Quality Control) untuk sebuah produk baru yang akan di proses di kilang tempat kami bekerja. Berulang kali aku memujuknya agar tetap tenang dan meyakinkannya kalau pekerjaan itu tidaklah sesulit yang dia kira.
Tapi tetap saja, Wanti yang lembut enggan menerima tugas ini. Memang sih tanggung jawab yang dipikul agak lebih berat dari teman-teman yang lain. Dalam hal ini kami harus benar-benar teliti dan bertanggung jawab pada barang yang masuk ke production room. Jangan sampai ada barang yang kurang bagus terlepas dari section kami. Satu hari production room akan mengeluarkan 200-300 unit kamera setengah jadi yang nantinya akan disempurnakan di Jepang.
Satu buah kamera setengah jadi terdiri dari beberapa komponen. Kesemua komponen tersebut harus di cek terlebih dahulu sebelum digunakan. Seingatku yang paling bermasalah adalah lensa. Satu buah kamera setengah jadi terdiri dari 6 lensa seperti cermin yang berbentuk macam-macam sesuai dengan fungsi masing-masing.
Aku sendiri paling benci tugas ini. Tau sendiri kan, kalau kamera itu yang paling rentan adalah bagian lensanya. Nah bayangkan kalau kamu harus mencari debu yang menempel pada lensa telanjang dengan menggunakan alat bantu lampu sebanyak 4 biji. Silauuu banget. Pantulan cahaya lampu akan terus mengarah pada lensa yang saat itu sedang dipelototin untuk mencari debunya. Tapi itulah tugas, seberat apapun tetep dijalani, karena konsekwensinya memang begitu. Walaupun Wanti menolak toh tetep saja akhirnya dia harus menggantikanku selama setahun sebelum kontrak kerjanya selesai.
Sudah dua tahun berlalu namun aku merasa seperti baru kemarin kami berpisah. Kini Wanti sudahpun tinggal di Lampung bersama suaminya sementara aku di Pekanbaru. Tapi persahabatan kami tak putus begitu saja. Meski hanya sesekali dan via telpon tetap saja ada cerita yang mengalir di sela-sela kesibukan kami sebagai ibu rumah tangga. Pengen ketemu, itu pasti, tapi entah kapan.
Banyaknya temenku yang berasal dari Pulau Jawa membuatku belajar memperhalus bahasa jawa. Salah satu temenku yang rajin banget ngajarin bahasa jawa kromo inggil adalah Wanti. Sebut saja begitu. Gadis cantik bertubuh kurus ini asli menampilkan sosok perempuan jawa yang halus budi bahasa. Dia tidak canggung menggunakan panggilan mbak, atau kakak untuk seseorang yang dianggap lebih tua walaupun hanya terpaut setahun. Itu salah satu hal yang menyenangkan ketika aku berteman dengannya.
Ditambah lagi sifatnya yang sedikit malu-malu tapi banyak menyimpan ilmu menjadikan wanti adalah sosok teman yang membuat aku betah duduk berlama-lama disampingnya. Gerak lakunya yang lembut malah dijadikan bahan lawakan oleh temanku.
Lembab. Begitu teman-teman yang lain memanggilnya. Lembab dalam bahasa melayu Malaysia artinya lamban.
Tidak di pungkiri memang, aku sendiripun sering membenarkan panggilan itu untuknya karena memang dia lembut sekali. Tapi aku suka.
Hal terakhir yang aku ingat tentang Wanti adalah ketika dia menangis sesenggukan waktu aku mau puang ke tanah air. Masalahnya sih sepele saja. Dia harus menggantikan tugasku yang waktu itu kebagian sebagai QC (Quality Control) untuk sebuah produk baru yang akan di proses di kilang tempat kami bekerja. Berulang kali aku memujuknya agar tetap tenang dan meyakinkannya kalau pekerjaan itu tidaklah sesulit yang dia kira.
Tapi tetap saja, Wanti yang lembut enggan menerima tugas ini. Memang sih tanggung jawab yang dipikul agak lebih berat dari teman-teman yang lain. Dalam hal ini kami harus benar-benar teliti dan bertanggung jawab pada barang yang masuk ke production room. Jangan sampai ada barang yang kurang bagus terlepas dari section kami. Satu hari production room akan mengeluarkan 200-300 unit kamera setengah jadi yang nantinya akan disempurnakan di Jepang.
Satu buah kamera setengah jadi terdiri dari beberapa komponen. Kesemua komponen tersebut harus di cek terlebih dahulu sebelum digunakan. Seingatku yang paling bermasalah adalah lensa. Satu buah kamera setengah jadi terdiri dari 6 lensa seperti cermin yang berbentuk macam-macam sesuai dengan fungsi masing-masing.
Aku sendiri paling benci tugas ini. Tau sendiri kan, kalau kamera itu yang paling rentan adalah bagian lensanya. Nah bayangkan kalau kamu harus mencari debu yang menempel pada lensa telanjang dengan menggunakan alat bantu lampu sebanyak 4 biji. Silauuu banget. Pantulan cahaya lampu akan terus mengarah pada lensa yang saat itu sedang dipelototin untuk mencari debunya. Tapi itulah tugas, seberat apapun tetep dijalani, karena konsekwensinya memang begitu. Walaupun Wanti menolak toh tetep saja akhirnya dia harus menggantikanku selama setahun sebelum kontrak kerjanya selesai.
Sudah dua tahun berlalu namun aku merasa seperti baru kemarin kami berpisah. Kini Wanti sudahpun tinggal di Lampung bersama suaminya sementara aku di Pekanbaru. Tapi persahabatan kami tak putus begitu saja. Meski hanya sesekali dan via telpon tetap saja ada cerita yang mengalir di sela-sela kesibukan kami sebagai ibu rumah tangga. Pengen ketemu, itu pasti, tapi entah kapan.
Tag :
iseng