Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah, dan janji masa depan yang lebih baik.
Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih sayang, perhatian, dan teladan tanpa mengharap budi sekali pun. Dan lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.
Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.
Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah… Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun… daun yang tidak pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.
Demikianlah sinopsis dari Novel apik karya Tere Liye yang cukup bikin aku terharu dengan kisah cinta yang tidak kesampaian. Cinta yang tidak mampu untuk diungkapkan karena masing-masing dari tokohnya menahan hati untuk tidak mengungkapkan rasa yang sebenarnya sudah tumbuh selama bertahun-tahun.
Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin ini adalah novel karangan Tere Liye yang pertama kali aku baca. Setelah sebelumnya sempet penasaran dengan cerita dari beberapa teman kalau tulisan Tere Liye mampu membius emosi pembacanya sehingga larut oleh alur cerita yang dibawa. Dan memang benar Novel yang menurutku cukup tipis ini bisa dibilang singkat dan padat, tidak terlalu banyak plot sehingga pembaca bisa fokus terhadap alur cerita yang disajikan.
Pengajaran yang menurut saya bisa diambil dari kisah dalam novel ini adalah bahwa setiap orang, siapapun dia, berhak untuk mencintai dan dicintai, berhak untuk mengungkapkan walau penghujungnya mungkin tidak seperti yang diharapkan. Tapi setidaknya lebih baik dari pada didiamkan yang akhirnya menjadi bumerang bagi sipemilik rasa itu sendiri.
Tag :
resensi film/buku